Tahun ajaran lalu (2004/2005) ditandai berbagai peristiwa pendidikan yang traumatis, peristiwa-peristiwa pendidikan yang menimbulkan rasa sedih dan pilu. Yang paling menyedihkan, peristiwa bunuh diri yang dilakukan beberapa siswa sekolah menengah. Tidakkah tragedi ini dapat dihindari?
Trauma lainnya ialah prestasi SLTP dan SLTA kita yang begitu rendah dalam ujian nasional (UN). Secara nasional 16 persen peserta tidak lulus. Di daerah-daerah yang dilanda tsunami, jumlah ketidaklulusan mencapai 49 persen.
Selain kedua peristiwa itu, ada hal-hal lain yang bagi kebanyakan orangtua murid cukup menimbulkan trauma. Mencari sekolah, menyediakan uang pangkal, mencari buku-buku pelajaran yang tiap tahun berubah, menyediakan pakaian seragam, mencari dana untuk membiayai les tambahan, mencari uang untuk membiayai karya wisata, ini yang menimbulkan trauma bagi banyak orangtua. Trauma-trauma ini tiap tahun berulang.
Situasi seperti ini membuat sekolah dan segala hal yang berhubungan dengan sekolah menjadi rangkaian peristiwa yang berat dan menekan hati. Munculnya situasi traumatis membuat upaya menyekolahkan anak menjadi tugas yang amat berat bagi setiap orangtua.
Memasuki tahun ajaran baru ini, kita perlu bertanya: Kapan kehidupan sekolah dapat menjadi kehidupan yang wajar dan normal kembali, kehidupan yang meski berat, tetapi memberi harapan untuk masa depan? Kapan kehidupan sekolah dapat dibersihkan dari hal-hal yang menimbulkan rasa sedih dan takut? Kapan tidak terjadi lagi siswa bunuh diri? Kapan buku pelajaran tidak berganti setiap tahun?
Kita tahu, aneka perubahan seperti ini tidak sekonyong-konyong datang. Dibutuhkan waktu panjang guna melahirkan kehidupan sekolah tanpa trauma. Namun, apakah tidak ada sesuatu yang dilakukan kini guna menyiapkan kedatangan kehidupan sekolah yang normal?
Fenomena bunuh diri
Kita mulai dengan peristiwa pendidikan yang paling menyedihkan: bunuh diri di kalangan siswa. Kapan kehidupan di sekolah tidak lagi menimbulkan rasa putus asa pada siswa kurang mampu yang mendorong mereka bunuh diri? Kita tidak tahu. Yang diketahui, ada cara-cara yang dapat dilakukan guna mengurangi keputusasaan yang memicu upaya bunuh diri.
Peristiwa bunuh diri umumnya dilakukan siswa yang menunggak uang sekolah. Mereka merasa, orangtuanya tidak akan pernah bisa membayar tunggakan itu dan mereka akan terus terperangkap dalam kesulitan ini. Selain itu, mereka juga merasa, kemiskinan membuat mereka terperosok ke posisi sosial yang tidak setaraf dengan teman-temannya. Rangkaian diskriminasi yang ditimbulkan oleh kemiskinan ini akhirnya menimbulkan rasa putus asa. Ketika rasa putus asa tidak lagi tertahankan, mereka pun lalu bunuh diri.
Jika berita ini benar, persoalan intinya ialah bagaimana menciptakan suasana sekolah yang mencegah timbulnya penghakiman bagi siswa yang orangtuanya tidak mampu membayar uang sekolah pada waktunya. Dapatkah ini kita lakukan?
Saya kira dapat! Jika di sekolah dapat diciptakan suasana yang bernapaskan empati, paling tidak para siswa yang orangtuanya kurang mampu tidak akan cepat putus asa. Suasana empati akan membantu tiap siswa memelihara harapan dalam dirinya. Tugas pendidik menjaga api harapan tetap menyala dalam hati siswa.
Selain itu, dapat diusahakan agar guru menagih uang sekolah langsung kepada orangtua tanpa melibatkan dan mengusik rasa harga diri siswa. Ini sulit, tetapi dapat dicoba. Kalau ini dapat dilakukan, akan terbentuk rasa kekeluargaan di sekolah. Dalam suasana kekeluargaan seperti ini, kiranya aneka tekanan yang menimbulkan keputusasaan dapat dikurangi. Soalnya, adakah kemauan kita untuk menimbulkan suasana kekeluargaan ini di sekolah?
Suatu utopia? Mungkin! Namun, setidaknya dengan gagasan ini kita menjadi tahu, arah mana yang harus ditelusuri guna melahirkan kembali kehidupan sekolah yang tidak menciptakan keputusasaan; kehidupan sekolah yang menjauhkan pandangan hidup yang gelap, yang memicu kecenderungan bunuh diri. Dengan gagasan ini, kita menjadi sadar akan keharusan untuk mengendalikan dan menghentikan kecenderungan komersialisasi pendidikan yang kini ada. Kita menjadi tahu cara-cara yang dapat ditempuh guna memanusiawikan pasar sekolah yang sudah telanjur lahir sekarang.
Kerja sama antarbirokrasi
Menciptakan suasana kekeluargaan di sekolah merupakan salah satu tindakan yang harus dilakukan guna menciptakan kehidupan sekolah yang normal dan wajar. Banyak tindakan yang harus dilakukan untuk membuat kehidupan di sekolah menjadi sehat. Dan yang perlu disadari ialah, dalam setiap tindakan yang harus dilakukan adalah perlunya kerja sama antara birokrasi pendidikan, masyarakat guru, dan masyarakat orangtua murid.
Meningkatkan mutu pendidikan yang rendah, yang menimbulkan hasil-hasil UN yang memprihatinkan, pada dasarnya merupakan tanggung jawab birokrasi pendidikan. Dalam hubungan ini, niat untuk selekas mungkin meningkatkan kualitas guru kita perlu dilakukan dengan hati-hati. Yang perlu dipikirkan ialah cermat menentukan apa yang merupakan inti kualitas guru. Masyarakat umumnya berpendapat, penguasaan ilmu merupakan sendi utama kualitas guru. Betulkah?
Pendapat itu tidak seluruhnya benar! Selain pengetahuan memadai, dibutuhkan sikap dan cara mengajar yang benar. Prinsip mengajar yang benar ialah kesediaan guru untuk berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan (sharing knowledge and sharing ignorance) dengan siswa. Mengajar jangan sekali-kali dipandang sebagai kesempatan untuk pamer pengetahuan!
Melahirkan kembali kehidupan sekolah tanpa trauma dan kehidupan sekolah yang mampu memberi harapan akan masa depan yang lebih baik dapat dimulai dengan melakukan aneka perbaikan kecil seperti yang telah diuraikan. Kita tidak dapat terus menunggu hingga datangnya malaikat penyelamat karena malaikat itu adalah diri kita sendiri. Kalau kita tidak mulai bertindak sekarang, mungkin tiap tindakan perbaikan yang datang kemudian akan merupakan tindakan terlambat.
Jika segenap kecerobohan pendidikan yang ada dibiarkan terus berlangsung, prospek pendidikan kita benar-benar mengkhawatirkan. Haruskah kehidupan bersekolah dalam masyarakat Pancasila terus ditandai berbagai trauma menekan?
Trauma lainnya ialah prestasi SLTP dan SLTA kita yang begitu rendah dalam ujian nasional (UN). Secara nasional 16 persen peserta tidak lulus. Di daerah-daerah yang dilanda tsunami, jumlah ketidaklulusan mencapai 49 persen.
Selain kedua peristiwa itu, ada hal-hal lain yang bagi kebanyakan orangtua murid cukup menimbulkan trauma. Mencari sekolah, menyediakan uang pangkal, mencari buku-buku pelajaran yang tiap tahun berubah, menyediakan pakaian seragam, mencari dana untuk membiayai les tambahan, mencari uang untuk membiayai karya wisata, ini yang menimbulkan trauma bagi banyak orangtua. Trauma-trauma ini tiap tahun berulang.
Situasi seperti ini membuat sekolah dan segala hal yang berhubungan dengan sekolah menjadi rangkaian peristiwa yang berat dan menekan hati. Munculnya situasi traumatis membuat upaya menyekolahkan anak menjadi tugas yang amat berat bagi setiap orangtua.
Memasuki tahun ajaran baru ini, kita perlu bertanya: Kapan kehidupan sekolah dapat menjadi kehidupan yang wajar dan normal kembali, kehidupan yang meski berat, tetapi memberi harapan untuk masa depan? Kapan kehidupan sekolah dapat dibersihkan dari hal-hal yang menimbulkan rasa sedih dan takut? Kapan tidak terjadi lagi siswa bunuh diri? Kapan buku pelajaran tidak berganti setiap tahun?
Kita tahu, aneka perubahan seperti ini tidak sekonyong-konyong datang. Dibutuhkan waktu panjang guna melahirkan kehidupan sekolah tanpa trauma. Namun, apakah tidak ada sesuatu yang dilakukan kini guna menyiapkan kedatangan kehidupan sekolah yang normal?
Fenomena bunuh diri
Kita mulai dengan peristiwa pendidikan yang paling menyedihkan: bunuh diri di kalangan siswa. Kapan kehidupan di sekolah tidak lagi menimbulkan rasa putus asa pada siswa kurang mampu yang mendorong mereka bunuh diri? Kita tidak tahu. Yang diketahui, ada cara-cara yang dapat dilakukan guna mengurangi keputusasaan yang memicu upaya bunuh diri.
Peristiwa bunuh diri umumnya dilakukan siswa yang menunggak uang sekolah. Mereka merasa, orangtuanya tidak akan pernah bisa membayar tunggakan itu dan mereka akan terus terperangkap dalam kesulitan ini. Selain itu, mereka juga merasa, kemiskinan membuat mereka terperosok ke posisi sosial yang tidak setaraf dengan teman-temannya. Rangkaian diskriminasi yang ditimbulkan oleh kemiskinan ini akhirnya menimbulkan rasa putus asa. Ketika rasa putus asa tidak lagi tertahankan, mereka pun lalu bunuh diri.
Jika berita ini benar, persoalan intinya ialah bagaimana menciptakan suasana sekolah yang mencegah timbulnya penghakiman bagi siswa yang orangtuanya tidak mampu membayar uang sekolah pada waktunya. Dapatkah ini kita lakukan?
Saya kira dapat! Jika di sekolah dapat diciptakan suasana yang bernapaskan empati, paling tidak para siswa yang orangtuanya kurang mampu tidak akan cepat putus asa. Suasana empati akan membantu tiap siswa memelihara harapan dalam dirinya. Tugas pendidik menjaga api harapan tetap menyala dalam hati siswa.
Selain itu, dapat diusahakan agar guru menagih uang sekolah langsung kepada orangtua tanpa melibatkan dan mengusik rasa harga diri siswa. Ini sulit, tetapi dapat dicoba. Kalau ini dapat dilakukan, akan terbentuk rasa kekeluargaan di sekolah. Dalam suasana kekeluargaan seperti ini, kiranya aneka tekanan yang menimbulkan keputusasaan dapat dikurangi. Soalnya, adakah kemauan kita untuk menimbulkan suasana kekeluargaan ini di sekolah?
Suatu utopia? Mungkin! Namun, setidaknya dengan gagasan ini kita menjadi tahu, arah mana yang harus ditelusuri guna melahirkan kembali kehidupan sekolah yang tidak menciptakan keputusasaan; kehidupan sekolah yang menjauhkan pandangan hidup yang gelap, yang memicu kecenderungan bunuh diri. Dengan gagasan ini, kita menjadi sadar akan keharusan untuk mengendalikan dan menghentikan kecenderungan komersialisasi pendidikan yang kini ada. Kita menjadi tahu cara-cara yang dapat ditempuh guna memanusiawikan pasar sekolah yang sudah telanjur lahir sekarang.
Kerja sama antarbirokrasi
Menciptakan suasana kekeluargaan di sekolah merupakan salah satu tindakan yang harus dilakukan guna menciptakan kehidupan sekolah yang normal dan wajar. Banyak tindakan yang harus dilakukan untuk membuat kehidupan di sekolah menjadi sehat. Dan yang perlu disadari ialah, dalam setiap tindakan yang harus dilakukan adalah perlunya kerja sama antara birokrasi pendidikan, masyarakat guru, dan masyarakat orangtua murid.
Meningkatkan mutu pendidikan yang rendah, yang menimbulkan hasil-hasil UN yang memprihatinkan, pada dasarnya merupakan tanggung jawab birokrasi pendidikan. Dalam hubungan ini, niat untuk selekas mungkin meningkatkan kualitas guru kita perlu dilakukan dengan hati-hati. Yang perlu dipikirkan ialah cermat menentukan apa yang merupakan inti kualitas guru. Masyarakat umumnya berpendapat, penguasaan ilmu merupakan sendi utama kualitas guru. Betulkah?
Pendapat itu tidak seluruhnya benar! Selain pengetahuan memadai, dibutuhkan sikap dan cara mengajar yang benar. Prinsip mengajar yang benar ialah kesediaan guru untuk berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan (sharing knowledge and sharing ignorance) dengan siswa. Mengajar jangan sekali-kali dipandang sebagai kesempatan untuk pamer pengetahuan!
Melahirkan kembali kehidupan sekolah tanpa trauma dan kehidupan sekolah yang mampu memberi harapan akan masa depan yang lebih baik dapat dimulai dengan melakukan aneka perbaikan kecil seperti yang telah diuraikan. Kita tidak dapat terus menunggu hingga datangnya malaikat penyelamat karena malaikat itu adalah diri kita sendiri. Kalau kita tidak mulai bertindak sekarang, mungkin tiap tindakan perbaikan yang datang kemudian akan merupakan tindakan terlambat.
Jika segenap kecerobohan pendidikan yang ada dibiarkan terus berlangsung, prospek pendidikan kita benar-benar mengkhawatirkan. Haruskah kehidupan bersekolah dalam masyarakat Pancasila terus ditandai berbagai trauma menekan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar