Sabtu, 29 Maret 2008

PERATURAN MENTRI PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yang mampu mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya secara optimal. Secara mendasar, dimensi kemanusiaan tersebut dijabarkan dalam fungsi pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. (UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional).

Tujuan tersebut pada hakikatnya menyentuh ranah afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia (termasuk budi pekerti luhur, kepribadian unggul), serta kompetensi estetis; ranah kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan ranah psikomotorik yang tercermin pada kemampuan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Dengan demikian, pendidikan nasional diarahkan pada peningkatan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, lembaga pendidikan menjadi wahana strategis bagi upaya pengembangan segenap potensi individu, termasuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat (3)diamanatkan: "pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional."

Selain alasan-alasan tersebut di atas, rintisan penyelenggaraan sekolah dasar bertaraf internasional (SDBI) juga didasari filosofi eksistesnsialis, yaitu keyakinan bahwa pendidikan harus menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui proses pendidikan yang bermartabat dan pro perubahan (kreatif, inovatif, eksperimentatif), serta menumbuhkembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Filosofi tersebut mengisyaratkan pentingnya layanan pendidikan untuk memperhatikan perbedaan kecerdasan, kecakapan, bakat dan minat peserta didik. Sementara esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan kebutuhan era global, maka pendidikan perlu menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut penting kiranya pemerintah dalam hal ini Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas memberikan arahan, bimbingan dan pengaturan terhadap sekolah-sekolah dasar yang telah dan akan merintis sekolah dasar bertaraf internasional (SDBI) agar pengembangannya lebih terarah, terencana dan sistematis.


B. Konsep Sekolah Dasar Bertaraf Internasional

Sekolah Dasar Bertaraf Internasional (SDBI) adalah sekolah dasar nasional yang dalam proses penyelenggaraan dan pengelolaan melakukan pengembangan, perluasan dan pendalaman dari standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dengan pengertian ini, SDBI dapat dirumuskan sebagai berikut:

SDBI = SDSN + X


SDBI adalah sekolah dasar yang telah memenuhi seluruh aspek Standar Nasional Pendidikan, baik standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian; serta X merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman kemampuan yang diyakini diperlukan untuk bekal hidup dalam pergaulan internasional.

Selain menguasai SNP Indonesia, lulusan SDBI juga perlu menguasai kemampuan-kemampuan kunci global, seperti bahasa internasional, teknologi informasi agar setara dengan rekannya dari negara-negara maju.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan SDBI adalah sekolah dasar yang menggunakan sistem pendidikan nasional Indonesia, baik kurikulum, pendidik dan ketentuan-ketentuan lainnya plus pengayaan/penguatan/pendalaman internasional yang digali dari sekolah-sekolah/lembaga-lembaga pendidikan dari dalam dan luar negeri.


C. Tujuan

Sesuai dengan visi pendidikan nasional maka tujuan SDBI adalah untuk meningkatkan keprofesionalan satuan pendidikan SD sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan internasional.


D. Dasar Hukum

Dasar penyelenggaraan SDBI adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

2. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3. undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;

4. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;

5. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

7. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;

8. Keputusan Mendiknas RI No. 44/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah;

9. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi

10. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

11. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan kepmendiknas nomor 22 dan 23 tahun 2006

12. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 tahun 2007 tentang perubahan permendiknas nomor 24 tahun 2006

13. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

14. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik Guru

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
15. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan

16. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk SD/MI

17. Rencana Strategis Depdiknas tahun 2005-2009.

18. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas tahun 2005-2009.

PENDIDIKAN di INDONESIA

STANDAR KOMPETENSI BNPS



Semenjak digulirkan pada bulan Juni 2006 lalu, KTSP cukup populer dengan berbagai julukan. Kurikulum kaTe SiaPe, bahkan hingga sebutan Kurikulum Tidak Siap Pakai. Apa pasal? Ada banyak anggapan, bahwa ini menjadi beban baru bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Apakah ada semacam keraguan dari pihak guru terhadap perubahan kurikulum yang kerap terjadi? Karena terdapat kemungkinan, sebagian besar dari mereka pun telah jengah dijadikan sebagai bahan percobaan bagi segelintir ahli. Walau pun ada alasan kuat dari BSNP, yang ingin mengedepankan kualitas pendidikan bangsa.

  1. Namun krisis ekonomi berkembang menjadi krisis yang multidimensi. Ada banyak rentetan masalah yang mengikuti setelahnya. Turunnya kualitas sumber daya menusia, disinyalir karena buruknya akses masyarakat terhadap kualitas pendidikan yang bermutu. Kerja-kerja evaluasi dilakukan. Berbagai program digulirkan. KTSP sebagai salah satu produk yang diluncurkan pemerintah, adalah salah satu perangkat/sarana untuk mencapai kualitas pendidikan terbaik untuk bangsa ini.

KTSP, sebuah standar nasional pendidikan yang sarat dengan muatan-muatan lokal. Kurikulum dan silabusnya disus

Fenomena KTSP

Setelah diluncurkannya program Kurikulum tahun 2004 dua tahun yang lalu, KTSP muncul sebagai program anyar yang mengandung berbagai ketentuan. Seluruh sekolah dianjurkan untuk menerapkan KTSP mulai tahun ajaran 2006/2007. Berbagai kenyataan di lapangan banyak ditemukan kasus bahwa ada beberapa sekolah yang belum menyusun KTSP sampai rampung, tetapi sudah menerapkan beberapa silabusnya. Mengingat anjuran untuk menerapkan pada tahun ajaran tersebut di atas.


Dari sejumlah ratusan ribu sekolah di seluruh Indonesia, muncul berbagai masalah. Mulai dari kualitas guru yang belum kompeten untuk menyusun kurikulum, sampai ke tingkat kesiapan anak-anak didik dan kemampuan pemerintah daerahnya untuk mendukung terlaksananya KTSP ini. Mampukah KTSP menyentuh seluruh satuan tingkat pendidikan dasar dan menengah di negara tercinta ini?
Sepanjang yang diketahui, KTSP telah mulai diterapkan di beberapa satuan tingkat pendidikan yang memiliki kualitas baik. Beberapa diantaranya, adalah sekolah-sekolah yang termasuk sebagai sekolah standar nasional (SSN), sekolah nasional yang berstandar internasional (SNBI), sekolah piloting kurikulum berbasis kompetensi, dan beberapa sekolah yang termasuk kategori “siap”.


Sekilas, tampak jelas bahwa sekolah-sekolah dengan kategori yang berada di bawah sekolah “terbaik” akan semakin terpuruk jika evaluasi dan monitoring penerapan KTSP yang persuasif tidak segera dilakukan. BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), sebuah lembaga independen, penggagas segala bentuk standar nasional untuk kemajuan kualitas pendidikan bangsa, pun mengakui ada berbagai masalah yang menghambat penerapan KTSP.
Diketahui bahwa, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23 (tentang standar isi dan standar kompetensi), baru ditandangani pada tanggal 2 Juni 2006 lalu, yaitu pada masa tahun ajaran baru 2006/2007. Padahal, berdasarkan ketetapannya, KTSP harus mulai diterapkan mulai tahun ajaran 2006/2007.


“Ini mengakibatkan tidak semua sekolah akan siap. Sehingga yang terjadi adalah beberapa sekolah, KTSP nya belum tersusun, tetapi telah dicoba menerapkannya sambil KTSP itu disusun. Matapelajarannya sudah diterapkan, tapi KTSP nya sedang dalam proses. Ini saya jumpai juga di daerah-daerah,” ungkap Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, salah satu anggota BSNP, ahli bidang kurikulum.


Ia juga memaparkan bahwa di suatu daerah, ada beberapa KTSP dari sekolah-sekolahnya yang telah rampung dan diserahkan kepada pihak pemerintah daerahnya untuk dilegalisir. Namun pihak Dinas Pendidikan di sana yang seharusnya berperan sebagai supervisor malah tidak memahami KTSP itu sendiri. Dikonfirmasi tentang nama daerahnya, Mungin tak hendak menyebutkan.


Siang hari itu juga, telepon genggamnya menerima sms yang dikirim oleh salah satu guru. “Tadi saya juga dapat sms dari salah satu guru di SDN 3 Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Menanyakan tentang SK dan KD, ternyata beliau belum dapat. Kalau dari SD ini belum tahu, berarti saya juga bisa tahu bahwa dari dinas pendidikan di kabupaten dan kotanya belum mensosialisasikan KTSP karena ada guru SD yang belum tahu tentang SK dan KD. Lalu, saya kirimkan sms balasan, yang isinya saya persilahkan untuk membuka internet dengan alamat yang ini (http://www.bsnp-indonesia.org). Ini kan berarti ada dinas yang terlambat.”

Sosialisasi KTSP yang Tidak Lancar

Diakui Mungin, bahwa setiap provinsi telah menerapkan KTSP, namun tidak sedikit pula sekolah-sekolah yang belum mampu menyusun KTSPnya sendiri. Terhadap masalah ini, hal menjadi mengerucut pada tingkat keberhasilan sosialisasi KTSP ke seluruh daerah. Indikasi kemacetan sosialisasi menjadi penyebab tersendatnya penerapan KTSP.


Bersama BSNP, ada beberapa direktorat terkait yang duduk sebagai penanggungjawab suksesnya penerapan KTSP. Direktorat PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan), Direktorat Pembinaan SD, SMP, dan SMA, Pusat Kurikulum, dan tentunya pemerintah daerah yang bersangkutan.


Mengenai keterlibatan pemerintah daerah dalam pelaksanaan KTSP, lebih jauh Mungin Menjelaskan, “Gubernur dapat mengatur jadwal pelaksanaan permendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006, untuk satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan khusus. Ini tentunya disesuaikan dengan kondisi kesiapan masing-masing satuan pendidikan di provinsi. Sedangkan Bupati dan Walikota mengatur jadwal pelaksanaan permendiknas No.22 dan 23 tahun 2006, untuk pendidikan dasar. Sedangkan kalau di madrasah dan sekolah-sekolah agama, diatur oleh mentreri agama, melalui Departemen Agama.”


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), telah melalui proses sosialisasi sejak bulan Agustus 2006. Pihak pemerintah pusat telah pula mengundang guru-guru, dan kepala sekolah se-Indonesia untuk datang ke Jakarta dan berkenalan lebih jauh dengan KTSP. Selain itu, ada juga program kunjungan ke daerah-daerah khusus untuk sosialisasi KTSP. Program kunjungan ini memang belum menyentuh ke seluruh daerah. Mengingat adanya tim pengembang yang telah dipercayakan untuk diberdayakan sebagai anggota tim sosialisasi di daerah-daerah.


Untuk solusi praktis atas segala kemacetan sosialisasi KTSP ini, BSNP melalui Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo memaparkan, “Tentunya kami menyerahkan kepada Dinas Pendidikan daerah untuk membentuk suatu tim pengembang di tingkat provinsi dan tim pengembang di tingkat kabupaten, itu telah diserahkan kepada Dinas Pendidikan. Tim inilah yang mempunyai tugas untuk mensosialisasikan kepada seluruh sekolah. Apakah itu sosialisasi dalam bentuk MGMP, atau melalui LPMP. Bisa seperti itu.”

Monitoring Kesiapan Menyusun dan Pemantauan Pelaksanaan KTSP

Target yang telah ditetapkan adalah bahwa pada tahun ajaran 2009/2010, KTSP sudah harus diterapkan dan dilaksanakan di seluruh sekolah di Indonesia. Mengenai kesiapan menyusun KTSP tersebut, BSNP telah melakukan monitoring kesiapan penyusunan KTSP dengan mengunjungi beberapa daerah yang bermasalah.


“Terhadap pelaksanaan standar isi dan SKL (standar kompetensi lulusan) yang telah berjalan di lapangan, dalam hal ini, adalah tentang KTSP. Jadi, pada akhir tahun 2006 lalu, kami hanya monitoring kesiapan satuan pendidikan untuk menyusun,”tutur Mungin.


Seberapa jauh tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan KTSP, belum dapat diketahui secara pasti. Mengingat tidak sedikit jumlah sekolah dengan kompetensi guru yang masih dibawah kualitas yang diharapkan untuk kesiapannya menyusun KTSP. Mengenai kemungkinan kebutuhan rekomendasi untuk peningkatan kompetensi guru, Mungin menjelaskan bahwa melalui program pemantauan pelaksanaan program KTSP secara keseluruhan, maka akan diperoleh banyak data tentang sekolah-sekolah yang membutuhkan bantuan agar KTSP bisa segera disusun di sana.


“Dan ini nantinya akan mengarah kepada hasil evaluasi bagi sekolah-sekolah yang gurunya tidak mampu. Apakah akan diberi perhatian khusus berupa pelatihan-pelatihan melalui LPMP, atau jika ada kekurangan sarana pra sarananya, maka bagaimana bantuannya. Nanti itu akan ditinjau dan diitindaklanjuti,” ucapnya.


Telah direncanakan oleh BSNP bahwa paling tidak pada bulan Mei s/d November 2007 akan dilaksanakan pemantauan menyeluruh terhadap pelaksanaan KTSP di seluruh Indonesia. Kegiatan ini akan melibatkan tim khusus yang terdiri dari para ahli pendidikan dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, serta para stake holder lainnya.


permendiknas no 22

Permendiknas Standar Isi dan Kompetensi Minim Sosialisasi




Jakarta (Suara Pembaruan: 27/07/06) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) diminta untuk menyosialisasikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23/2006 tentang Standar Kompetensi. Sampai saat ini, belum semua sekolah di Jakarta mengetahui adanya Permendiknas tersebut. Pengajar SMA 19 Jakarta Barat, Laili Hadiati, ketika dihubungi Pembaruan, Rabu (26/7), mengatakan sampai saat ini sekolahnya belum menerima Permendiknas yang akan mengubah kurikulum di kelas. "Belum ada informasi yang kami terima tentang peraturan baru. Saya tanya ke bagian kurikulum di sekolah, katanya belum ada. Tetapi setelah bertanya-tanya, katanya tidak banyak berbeda dengan kurikulum 2004," katanya.

Laili mengatakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) belum membahas Permendiknas tersebut lantaran informasi yang diterima belum lengkap. Tetapi, bila informasi itu menyatakan tidak ada perubahan signifikan kurikulum, seperti termaktub dalam Permendiknas, otomatis tidak akan ada perubahan di kelas, seperti yang diinginkan pemerintah.

Inkonsistensi
Secara terpisah, pengamat pendidikan Darmaningtyas menyatakan lahirnya kedua Permendiknas itu merupakan sikap inkonsistensi pemerintah. "Lahirnya Permendiknas tersebut merupakan cerminan inkonsistensi dan kebingungan pengambil kebijakan. Otonomi pembuatan kurikulum diberikan kepada satuan pendidikan, namun otonomi evalusi tidak diberikan karena pemerintah tetap menyelenggarakan ujian nasional (UN)," katanya ketika dihubungi Pembaruan, Kamis (27/7).

Dikemukakan, Permendiknas yang baru lahir itu akan menimbulkan kurikulum yang variatif. Namun, pemerintah juga mengharapkan munculnya standar hasil akhir yang sama. Darmaningtyas menambahkan, otonomi kurikulum yang termaktub dalam Permendiknas tersebut menelurkan konsekuensi penggunaan beragam buku pelajaran.
"Tidak ada lagi yang disebut buku paket. Yang akan terjadi, sekolah akan memakai kurikulum yang disusun BSNP. Oleh karena itu, dalam sektor pendidikan tetap terjadi sentralisasi kurikulum," tegasnya.

Memasung Kreativitas
Pandangan senada disampaikan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Susi Fitri. Dia mengatakan Permendiknas justru memasung kreativitas guru. "Standar isi dan Kompetensi yang termaktub dalam Permendiknas tersebut akan bertentangan dengan keinginan pendidikan kita untuk lebih kreatif. Mengapa? Karena Permendiknas sangat mengikat dengan standar yang sangat detail. Apalagi dengan adanya UN yang justru bertentangan dengan napas KBK," katanya. Kalau memang Permendiknas itu dianggap akan membuat kurikulum variatif, akan sangat bijaksana jika UN ditiadakan.

Guru Dikhawatirkan Sulit Kembangkan Kurikulum Sendiri



Jakarta (Kompas: 01/08/06) Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan tahun 2006 diharapkan dapat memenuhi standardisasi evaluasi belajar siswa. Namun, dikhawatirkan pihak sekolah belum sepenuhnya dapat melaksanakannya dalam proses belajar-mengajar karena ketidaksiapan guru dan keterbatasan dana operasional sekolah. "Dalam kurikulum ini guru sebenarnya diberi kebebasan penuh dalam menjabarkan kurikulum, dan murid ditetapkan sebagai subyek," kata pengamat pendidikan Ahmad Rizali dalam acara Media Forum bertema "Kurikulum Tahun Ajaran Baru 2006/2007: Bisakah Menjawab Standardisasi Evaluasi Belajar Siswa", Senin (31/7), di Jakarta.

Sayangnya, meski secara filosofis pendidikan sudah sangat didesentralisasi, tetapi muaranya tetap pada ujian nasional (UN). UN SMP dan SMA tetap dijalankan sebagai kunci kelulusan. "Ini membingungkan guru dalam menjalankan kurikulum tersebut, karena ukuran sukses tetap saja lulus UN. Ini yang kemudian membuat para guru hanya memfokuskan bagaimana peserta didiknya lulus UN," kata Rizali.

Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Soehendro menyatakan, kurikulum tingkat satuan pendidikan disusun oleh sekolah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP). "Jadi, tetap ada standar nasional pendidikan mengenai kompetensi lulusan, isi, proses belajar-mengajar, penilaian, sarana dan prasarana, pembiayaan, serta tenaga kependidikan," katanya.

Berkaitan dengan penerapan kurikulum tahun ini, lanjut Bambang, pihaknya telah membuat contoh silabus mata pelajaran untuk pendidikan dasar dan menengah, dan diperkirakan selesai dalam dua pekan ini. "Kurikulum ini diharapkan bisa diterapkan di semua sekolah pada tahun 2009. Dengan adanya contoh ini, guru diharapkan bisa lebih mudah melaksanakannya," tuturnya.

Jumat, 28 Maret 2008

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 34 TAHUN 2007

TENTANG



UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH/SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMP/MTs/SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH/ SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMA/MA/SMALB), DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)
TAHUN PELAJARAN 2007/2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL


Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 67 ayat (3), Pasal 71 dan Pasal 72 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/MA/SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2007/2008;

Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496);

3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 tahun 2006;

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;

5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH/ SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMP/MTs/SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH/ SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMA/MA/ SMALB), DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) TAHUN PELAJARAN 2007/2008.


Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

2. SMPLB dan SMALB adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan luar biasa bagi peserta didik tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras.

3. BSNP adalah Badan Standar Nasional Pendidikan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

4. Kurikulum 1994 adalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang sudah berlaku secara nasional sejak tahun pelajaran 1994/1995 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993, Nomor 061/U/1993 Tahun 1993, Nomor 080/U/1993, Nomor 126/U/1993, dan Nomor 129/U/1993.

5. Kurikulum 2004 adalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang sudah diterapkan secara terbatas mulai tahun pelajaran 2001/2002 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 399a/C.C2/Kep/DS/2004, Keputusan Direktur Pendidikan Menengah Umum Nomor 766a/C4/MN/2003, dan Nomor 1247a/C4/MN/2003.

6. Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang selanjutnya disebut standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006.

7. Prosedur operasi standar yang selanjutnya disebut POS adalah prosedur operasi standar yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan ujian nasional yang ditetapkan oleh BSNP.

8. Kompetensi keahlian adalah kemampuan teknis peserta didik Sekolah Menengah Kejuruan.

9. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

10. Departemen adalah Departemen Pendidikan Nasional.

11. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.


Pasal 2


Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 3

Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
a. Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan;
b. Seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
d. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Pasal 4

(1) Setiap peserta didik yang belajar pada tahun akhir SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, dan SMK berhak mengikuti UN.

(2) Untuk mengikuti UN, peserta didik harus memenuhi persyaratan:
a. Memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar pada satuan pendidikan mulai semester I tahun pertama hingga semester I tahun terakhir; dan
b. Memiliki ijazah atau surat keterangan lain yang setara, atau berpenghargaan sama dengan ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah, atau memiliki bukti kenaikan kelas dari kelas III ke kelas IV untuk siswa Kulliyatul-Mu’alimin Al-Islamiyah (KMI)/Tarbiyatul-Mu’alimin Al-Islamiyah (TMI) yang pindah ke SMA, MA, dan SMK.

(3) Peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti UN di satuan pendidikan yang bersangkutan, dapat mengikuti UN di satuan pendidikan lain pada jenjang dan jenis yang sama.

(4) Peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti UN utama dapat mengikuti UN susulan.

(5) Peserta didik yang belum lulus UN berhak mengikuti UN pada tahun berikutnya.

Pasal 5

(1) UN utama dilaksanakan satu kali pada minggu keempat bulan April 2008.

(2) UN susulan dilaksanakan satu minggu setelah UN utama.

(3) Ujian kompetensi keahlian dilaksanakan sebelum UN utama.


Pasal 6

(1) Mata pelajaran yang diujikan pada UN:

a. Mata Pelajaran UN SMP, MTs, dan SMPLB meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA);

b. Mata Pelajaran UN SMA dan MA:
1) Program IPA, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi;
2) Program IPS, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi;
3) Program Bahasa meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing lain yang diambil, Sejarah Budaya (Antropologi), dan Sastra Indonesia; dan
4) Program Keagamaan meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, dan Tasawuf/Ilmu Kalam;

c. Mata Pelajaran UN SMALB meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika;

d. Mata Pelajaran UN SMK, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Kompetensi Keahlian Kejuruan.


Pasal 7


(1) Standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional (SKLUN) Tahun 2008 merupakan irisan (interseksi) dari pokok bahasan/sub pokok bahasan Kurikulum 1994, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2004, dan Standar Isi.

(2) SKLUN Tahun 2008 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 8

(1) Soal ujian dipilih dan dirakit dari soal yang disusun khusus, dan bank soal sesuai dengan SKLUN Tahun 2008.

(2) Bank soal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan dan dikelola oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik).

(3) Paket-paket soal UN ditelaah dan ditetapkan oleh BSNP.

Pasal 9

(1) Penggandaan soal UN dilakukan di tingkat provinsi oleh perusahaan percetakan yang ditetapkan oleh penyelenggara UN tingkat provinsi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Untuk menjamin kelancaran distribusi soal UN, perusahaan percetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.

(3) Perusahaan percetakan yang dapat ditetapkan adalah perusahaan percetakan yang memenuhi persyaratan kelayakan berdasarkan kriteria yang ditetapkan BSNP.

(4) Kriteria kelayakan percetakan meliputi:
a. Keamanan dan kerahasiaan;
b. Kualitas hasil cetakan;
c. Ketepatan waktu penyelesaian; dan
d. Domisili percetakan.

Pasal 10

UN diselenggarakan oleh BSNP yang pelaksanaannya bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan satuan pendidikan.

Pasal 11

(1) Dalam penyelenggaraan UN, Menteri bertanggungjawab untuk:
a. Menetapkan sekolah/madrasah penyelenggara untuk peserta didik pada sekolah Indonesia di luar negeri;
b. Menetapkan jumlah dan sumber dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan UN;
c. Menyediakan blanko Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN); serta
d. Memantau, mengevaluasi, dan menetapkan program tindak lanjut.

(2) Dalam penyelenggara UN, BSNP bertanggungjawab untuk:
a. Membentuk penyelenggara UN tingkat pusat;
b. Melaksanakan penjaminan mutu paket soal;
c. Menyiapkan master soal bekerja sama dengan Puspendik;
d. Mengkoordinasikan pelaksanaan UN yang jujur;
e. Memantau kesesuaian percetakan yang ditetapkan oleh gubernur;
f. Melakukan supervisi pengolahan hasil pemindaian (scanning) lembar jawaban ujian;
g. Membentuk tim pemantau independen UN;
h. Mengkoordinasikan kegiatan pemantauan UN;
i. Menyusun dan menetapkan POS UN;
j. Mengevaluasi pelaksanaan UN;
k. Melaporkan pelaksanaan UN kepada Menteri.

(3) Dalam pelaksanaan UN, gubernur bertanggungjawab untuk:
a. Membentuk tim pelaksana UN tingkat provinsi;
b. Menetapkan sekolah/madrasah pelaksana UN untuk peserta didik pada SMPLB, SMA, MA, SMALB, dan SMK;
c. Mendata dan menetapkan calon peserta UN;
d. Mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan UN dengan perguruan tinggi di wilayahnya sebagaimana yang ditetapkan oleh BSNP;
e. Menetapkan jumlah dan sumber dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan UN;
f. Menggandakan soal ujian;
g. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan lembar soal UN, lembar jawaban yang sudah diisi oleh peserta ujian, dan dokumen pendukungnya;
h. Mengkoordinasikan pengolahan hasil ujian di wilayahnya;
i. Menjamin keamanan, kejujuran, dan kerahasiaan pemindaian lembar jawaban UN;
j. Menjamin objektivitas dan kredibilitas pelaksanaan UN di provinsi;
k. Menerima hasil UN dari BSNP dan mengirimkannya kepada penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota; dan
l. Melaporkan pelaksanaan UN di wilayahnya kepada Menteri.

(4) Dalam penyelenggaraan UN, perguruan tinggi berfungsi membantu pelaksanaan UN dan sebagai pemantau independen.

(5) Dalam kapasitas membantu pelaksanaan UN, perguruan tinggi bersama-sama dengan penyelenggara UN Kabupaten/Kota menentukan pengawas UN sekolah/madrasah.

(6) Dalam penyelenggaraan UN, perguruan tinggi sebagai tim pemantau independen bertanggungjawab untuk:
a. Mengawasi percetakan yang menggandakan soal sebagaimana ditetapkan penyelenggara tingkat provinsi;
b. Mengawasi distribusi soal dan lembaran jawaban UN;
c. Melakukan pengawasan pelaksanaan UN bersama-sama dengan pemerintah daerah;
d. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan lembar soal UN, lembar jawaban yang sudah diisi oleh peserta ujian, dan dokumen pendukungnya;
e. Mengawasi pemindaian lembar jawaban UN di tingkat provinsi;
f. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan UN bersama-sama dengan pemerintah daerah;
g. Melaporkan pelaksanaan UN kepada gubernur dan BSNP.

(7) Dalam pelaksanaan UN, bupati/walikota bertanggungjawab untuk:
a. Mengkoordinasikan dan menjamin pelaksanaan UN yang jujur di wilayahnya;
b. Membentuk penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota;
c. Menetapkan sekolah/madrasah pelaksana UN untuk SMP dan MTs;
d. Mendata dan menetapkan pengawas pelaksanaan UN bersama-sama dengan perguruan tinggi yang ditetapkan BSNP;
e. Menetapkan jumlah dan sumber dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan UN;
f. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan soal ujian dan dokumen pendukungnya;
g. Menjamin kejujuran pelaksanaan UN;
h. Menjamin keamanan dan kerahasiaan proses pengumpulan dan penyimpanan lembar jawaban UN yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnya yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota dari satuan pendidikan penyelenggara UN;
i. Mengirimkan lembar jawaban sebagaimana dimaksud pada huruf (h) ke penyelenggara UN tingkat provinsi;
j. Menerima hasil UN dari penyelenggara UN tingkat provinsi dan mengirimkannya ke sekolah/madrasah penyelenggara UN;
k. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan UN bersama-sama dengan perguruan tinggi yang ditetapkan BSNP; dan
l. Melaporkan pelaksanaan ujian di wilayahnya kepada Menteri melalui gubernur.

(8) Dalam pelaksanaan UN di luar negeri, Duta Besar Republik Indonesia bertanggungjawab untuk:
a. Mengkoordinasikan dan menjamin pelaksanaan UN yang jujur;
b. Menetapkan calon peserta UN;
c. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan soal ujian dan dokumen pendukungnya;
d. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan lembar jawaban UN yang sudah diisi oleh peserta ujian beserta dokumen pendukungnya;
e. Mengirimkan hasil pemindaian kepada BSNP;
f. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan UN; dan
g. Melaporkan pelaksanaan ujian di wilayahnya kepada Menteri.

(9) Dalam pelaksanaan UN, sekolah/madrasah bertanggungjawab untuk:
a. Melakukan pendataan calon peserta UN;
b. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan soal ujian dan dokumen pendukungnya;
c. Melaksanakan ujian secara jujur dan amanah sesuai POS;
d. Mengirimkan lembar jawaban ujian yang telah diisi oleh peserta ujian kepada dinas kabupaten/kota;
e. Menerima hasil UN dari penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota;
f. Menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN);
g. Menetapkan dan mengumumkan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
h. Melaporkan pelaksanaan UN kepada pejabat yang menugaskannya.

Pasal 12

(1) Pengawasan di ruang ujian dilakukan oleh tim pengawas UN dengan sistem silang murni antara sekolah dengan madrasah.

(2) Kekurangan pengawas di sekolah penyelenggara yang disebabkan oleh jumlah guru madrasah yang tidak mencukupi, maka pengawasan dilakukan dengan silang murni antar sekolah.

(3) BSNP dapat mengusulkan pengawas UN yang tidak berasal dari sekolah/madrasah.

Pasal 13

(1) Pelaksanaan UN di setiap provinsi, kabupaten/kota dan sekolah/madrasah dipantau oleh Tim Pemantau Independen (TPI).

(2) Tugas TPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah memantau kesesuaian penempatan pengawas, penerimaan dan penyimpanan soal, pelaksanaan pengawasan UN, pengumpulan lembar jawaban, pengiriman lembar jawaban ke penyelenggara UN kabupaten/kota.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai TPI diatur dalam POS tersendiri.

Pasal 14

(1) Pemindaian (Scanning) lembar jawaban UN dilakukan oleh penyelenggara UN tingkat provinsi dengan menggunakan sistem dan standar penilaian yang ditetapkan oleh BSNP.

(2) Daftar hasil pemindaian diskor oleh Puspendik dengan supervisi BSNP.

(3) Daftar nilai hasil UN setiap sekolah/madrasah diisi oleh penyelenggara UN tingkat provinsi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BSNP.

(4) Puspendik mengelola arsip permanen dari hasil UN di bawah koordinasi dan tanggung jawab BSNP.

Pasal 15

(1) Peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut:
a. memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; atau
b. memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
(2) Pemerintah daerah dan/atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Peserta UN diberi Surat Keputusan Ujian Hasil Ujian Nasional (SKHUN) yang diterbitkan oleh sekolah/madrasah penyelenggara.


Pasal 16


Biaya penyelenggaraan UN sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 17

(1) Perorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan UN wajib menjaga kerahasiaan, kejujuran, keamanan, dan kelancaran penyelenggaraan UN.

(2) Perorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan dalam penyelenggaraan UN dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Peserta didik yang terbukti melakukan kecurangan dalam mengerjakan soal UN dinyatakan gagal dalam UN oleh satuan pendidikan penyelenggara UN, duta besar RI, bupati/walikota, gubernur, Kepala BSNP, atau Menteri.

Pasal 18

Hal-hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan UN diatur dalam POS.

Pasal 19

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2007

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,